Kamis, 22 April 2010

BIOSKOP NEW KUSUMA JEMBER, KOMERSIALISME PRODUK IDEALIS YANG TERLUPAKAN

Memaknai Film, Memaknai Bioskop Sebagai Media Film : Refleksi Tentang Bioskop Kusuma Jember dan Komersialisme Produk Idealis Yang Terlupakan

Jack Sully : [to Tsu'tey] With your permission, I will speak now. You would honor me by translating.
[to the assembled Na'vi] 

Jack Sully : The Sky People have sent us a message, that they can take whatever they want. That no one can stop them. Well, we will send them a message. You ride out as fast as the wind can carry you. You tell the other clans to come. Tell them Toruk Makto calls to them! You fly now, with me! My brothers! Sisters! And we will show the Sky People, that they can not take whatever they want! And that this, this is our land! 

Itulah petikan kalimat yang diucapkan oleh Jack Sully [Sam Worthington]  sesaat sebelum perang akbar antara klan Manusia dan Klan Na'vi dimulai, dengan iringan nada patriotisme a la Planet Pandora Jack mulai mengumpulkan seluruh prajurit untuk berperang melawan Manusia. Gemuruh genderang peperangan memenuhi salah satu diantara dua studio yang ada di Bioskop Kusuma hari itu. adegan tersebut adalah salah satu adegan dalam film Avatar yang disutradarai oleh James Cameron yang sukses menghajar tangga Box Office sebagai film berpenghasilan tersukses sepanjang masa, gue nonton film ini untuk kedua kalinya setelah pertama liat di bioskop 3D di Sutos XXI tanggal 17 Desember 2009 yang lalu.

Nah, Mengawali tulisan ini rasanya tidak berlebihan bila kita menyebut bahwa bioskop New Kusuma Cineplex merupakan Satu-satunya Bioskop yang masih "bertahan" di di Kabupaten Jember, mengingat memang tidak ada lagi bioskop lain yang ada dikota ini. Bisokop Kusuma berada di Jalan Gatot Subroto dan berada ditengah kota namun dalam lokasi yang relatif sepi membuatnya agak susah dicari terutama bagi mereka yang belum mengerti jalur dalam kota atau mereka yang datang dari luar kota, Bioskop Kusuma juga merupakan Cagar Budaya berupa bangunan kuno jaman dahulu yang tetap dipertahankan dibagian depan gedungnya. meski mengalami perubahan manajemen dan pemilik, bangunan bioskop ini tetap dipertahankan keasliannya seperti bisokop Metropole Jakarta yang juga menempati gedung tua. dalam perjalanan sejarahnya, awalnya bioskop ini hanya menggunakan satu layar alias satu studio, namun setelah beberapa waktu sempat mati suri karena kurangnya minat penonton, kemudian Bioskop ini diambil alih menejemennya dan seketika itu pula berubah bentuk (bagian dalamnya) menjadi dua ruang/studio serta berganti nama menjadi New Kusuma Cineplex. rata-rata jam putar bioskop ini adalah Jam pertama pukul 15.00, jam kedua jam 17.00, dan jam ketiga adalah jam 19.00, khusus hari minggu ada tambahan show pagi yaitu jam 10.00. dan untuk judul filmnya, sebelum menjadi "New", Kusuma sering menjual film-film panas untuk menjaring penontonnya agar bertahan. namun sejak penambahan "New", maka filmnya pun lebih up to date meski tetap telat dari Bioskop di kota besar lainnya semisal 21 dan Blitz.

Merunut Tulisan diatas, kata bertahan bagi saya memang sangat memprihatinkan mengingat jika kita melihat hal ini dengan dunia luar yang lebih eksis, bioskop merupakan produk komersial yang selalu dikaitkan dengan perkembangan teknology dan gaya hidup. mungkin memang kurang berpengaruh besar, namun dampak dari publisitas strata dengan gelar absurd bernama artis tidaklah luput dari bayang-bayang bernama film hingga kemudian kata gaul dan modern selalu tampak dengan cara mengekori segala atribut yang dipopulerkan di dalamnya. Melihat Bioskop, dalam era modern ini tentu kita akan langsung menyebut 21 Cineplex dan Blitz Megaplex sebagai kosa kata paling populer. Jaringan bioskop yang sudah kesohor diseluruh Indonesia ini sudah banyak merambah  daerah potensial untuk kemudian ditempati sebagai marketnya, untuk sementara pengecualian kita sematkan kepada Blitz yang memang masih berkutat di daerah Jabodetabek dan Bandung. untuk 21 atau yang lebih premium adalah XXI, jaringan bioskop ini sudah banyak menempati daerah kota besar dijawa dan luar jawa. Jember pun dahulunya juga pernah disinggahi oleh jaringan bioskop yang diprakarsai oleh Subentra Group yang kini telah memiliki 560 layar di 31 kota tersebut, namun karena beberapa hal lain kemudian bioskop ini berhenti beroperasi.

Jember bagi saya bukanlah sebuah kota kecil yang tidak pernah mendapatkan publikasi "wah" secara nasional, dunia mode setiap tahun selalu melihat Jember sebagai pendobrak anggapan pesimis yang sebelumnya mungkin sering terlontar. BBJ atau Bulan Berkunjung ke Jember merupakan program pemerintah untuk mendatangkan minat wisatawan ataupun pebisnis luar untuk datang dan menghabiskan uangnya dijember, meski cukup aneh karena memberi saya sebuah kesimpulan bahwa orang jembernya serasa kurang mampu untuk membelanjakan uangnya atau semakin banyaknya orang jember yang menghabiskan waktu dan uangnya diluar jember, namun usaha pemerintah yang juga telah menghabiskan dana yang besar tersebut patut pula kita hargai. namun yang sangat disayangkan di jember ini adalah peran pemerintah untuk memasyarakatkan film dalam bentuk "kembali ke bioskop" ternyata masih sangat kurang, padahal kita ketahui daerah ini pernah mempopulerkan artis film semisal Dewi Persik, Nadine Candrawinata, dan Opick yang beberapa waktu yang lalu membintangi sebuah film, bahkan film documenter tentang Jember Fashion Carnaval sukses masuk finalist film terbaik dalam acara Eagle Award beberapa waktu yang lalu. hal ini menandakan bahwa orang film atau pelaku film didaerah yang terkenal dengan makanan bernama suwar-suwir ini secara kuantitas dan kualitasnya juga nggak kalah dengan daerah lain.

Gedung Bioskop Kusuma lama

Menyinggung tentang persaingan dibidang perfilman, bagi saya hal itu bukanlah kendala yang berarti bioskop harus menyingkir dari peredaran. hal ini yang membuat saya terenyuh melihat fakta yang mengatakan bahwa produk DVD bajakan adalah biang keladi yang membuat mundurnya bisokop sebagai tempat hiburan bernama film, karena film memiliki pasar yang berbeda-beda. saya mengenalnya dengan sebutan proses, proses disini memiliki waktu dan tempat yang berbeda pula. ada bioskop sebagai media pertama, kemudian home video yang kemudian dibagi dua yaitu beli produk film atau sewa film dirental penyewaan. untuk masalah produk bajakan khsusunya DVD, di jember sekarang memang sudah berkurang dan bahkan hilang dari ingatan. Seiring berkembangnya teknologi, kemudian pengalihan kesalahan berpindah ke warung internet atau warnet yang banyak menyediakan film-film bajakan yang dapat diunduh secara gratis.

Kembali keatas, hal ini tetap bukan berarti bioskop harus mati. kita lihat di kota besar, apakah Produk bajakan sudah punah? apakah koneksi internet untuk mengunduh film bajakan lebih lemah dari kota yang berada di pinggiran seperti Jember? tentu jawabannya malah terbalik tapi mengapa bioskop 21, XXI, atau bahkan Blitz makin banyak jumlahnya? bukankah seharusnya lebih sedikit? bahkan kemaren sewaktu lihat film Green Zone dan Clash Of The Titans di salah satu mall di Surabaya, pas sebelah gedung bioskopnya ada kios yang terang-terangan jual DVD bajakan dan bahkan untuk dua judul yang saya liat tersebut sudah ada disalah satu rak deretan DVD New Release-nya. namun terbukti di bioskop tersebut masih dipenuhi oleh sesak penonton, nah berkaca kepada hal tersebut apakah DVD bajakan masih menjadi pengganggu hiburan bioskop? Mengetahui fakta seperti itu kita lalu bertanya, mengapa demikian? saya tidak perlu menjawab pertanyaan konyol tersebut karena saya menyadari bahwa pasar bioskop memiliki perbedaan. kita datang ke bioskop itu adalah sebuah ritual, kita datang, beli tiket, bercengkrama nunggu film diputer, terkadang beli popcorn, gelap, dan sound system yang akurat dan menggelegar. hal itu tentu tidak kita temui saat nonton dirumah, apalagi dalam bentuk film bajakan yang kualitas suara dan gambarnya sangat menyedihkan. dari bioskop kita mendapatkan social moment, kita bisa bersilaturahmi bersama teman, reuni dengan mengadakan nonton bareng, dan bentuk komunikasi sosial lainnya.

Namun terjadi ketimpangan ketika kita menyinggung soal film di kota ini, produk seni komersial bernama bioskop serasa bukan bagian dari gaya hidup yang berbanding sangat terbalik dengan yang sekarang menjangkiti muda-mudi dikota besar seperti Surabaya, Bandung, dan Jakarta misalnya, meski tidak ingin terlalu memojokkan produk bajakan yang memang sudah sangat berkurang dipasaran, namun budaya untuk menjadikan bioskop sebagai buah ritual untuk nonton film memang sudah tergerogoti dan kemudian hilang sama sekali di kota ini. saya lalu menyimpulkan hal yang berbeda tentang fenomena yang sebenarnya terjadi disini, masyarakat Jember sudah terbiasa dicekoki oleh produk bajakan dan nyewa film di rental ketimbang rela merogoh koceknya untuk selembar tiket bioskop. sangat disayangkan bila hal ini terus menerus dibudayakan, apalagi bila sampai ada yang menyebutkan nonton film dibioskop tidak gaul dan dicap kuno. bahkan sempat ada yang menentang karena Kusuma sering menayangkan film panas yang kini sudah mulai dikurangi. fenomena seperti ini memang sedang booming secara nasional, meski hemat saya adalah bukan bioskopnya yang harus menangggung semua kesalahan namun lebih kepada sang pembuat dan para produsernya yang harus didatangi. hal tersebut memiliki pengertian demikian karena bisokop itu bukan pembuat film dan bukan pula pengedar film, bisokop tersebut cuma menerima film dan kemudian diputar.

Bahkan perlu diketahui pula, peraturan pemerintah malah mewajibkan bioskop untuk lebih banyak memutar film nasional ketimbang film impor. ini yang membuat saya bingung, disatu sisi dihujat karena film produksi nasional kebanyakan bertema horror-komedi-esek esek disisi lain kita mau tidak mau harus nonton film bertema tidak mendidik seperti itu. jadi akhirnya akan menjadi komedi ketika film Paku Kuntilanak, Air Terjun Pengantin, dan Suster Keramas laris manis dipasaran, mengingat hal itu lebih wajib ditonton ketimbang film Shutter Island dan Ghost Writer yang memang berkualitas bagus tapi produk impor. saya memang tidak ingin bicara naif ketika disodorkan film panas sperti tiga judul film yang sudah saya sebut diatas, namun sebagai penikmat film saya kecewa bila film tersebut lebih diprioritaskan. mungkin cuma saya saja yang malu melihat film tersebut karena terbukti film seperti itu terus dibuat karena alasan masih sangat banyak yang akan nonton dan itu terbukti.

Mengenai keterlambatan pasokan film memang diakui hal ini sangat sulit untuk diselesaikan, namun jalan menuju kesana bisa positif bila ada profesionalisme dalam menejemen bioskopnya. seperti yang kita tau bahwa pemilik filmnya lah yang mengedarkan film bukan pemilik bioskop, makanya profesionalisme pemilik bioskop dituntut untuk terus membenahi diri supaya ada kepercayaan dari distributor film. dalam peredaran secara nasional pun para distributor juga melihat bioskopnya, dalam artian bioskopnya pun memiliki kriteria sebuah film tersebut cocok apa tidak untuk diputar di bioskop tersebut. bila anda sering membuka situs bioskop 21 dan Blitz, disana ada perbedaan pasar tentang film apa yang pantas dan kemudian mendapatkan penonton lebih dari bioskop tersebut. tentu dari sanalah perbedaannya, karena bioskop dan produser film juga melihat pasar. bila pasarnya menarik, maka disanalah film mereka akan muncul setidaknya untuk yang pertama kali. dan seperti yang kita ketahui sangat jarang bioskop selevel XXI memutar film lokal, pengecualian bila film tersebut memang masuk dalam kategori most anticipated movie.

Jadi sebenarnya bukan berarti para distributors tersebut pelit untuk langsung mengekspor filmnya ke bioskop daerah seperti jember, namun dengan tanpa menghormati penonton para produser juga adalah pebisnis yang memikirkan pendapatan dari penonton. dan hal ini pernah saya alami sendiri dikota Jember ini, saat itu saya rame-rame pengen nonton film X-Men Origins : Wolverine yang masih sangat up to date untuk ukuran film barat yang pernah diputer di Jember. pas nyampek ternyata film sudah diganti Pocong Kamar Sebelah dan Terminator Salvation, sontak kami gembira melihat bioskop ini sudah ada kemajuan dalam menampilkan film yang lebih baru. namun yang tidak kalah mengagetkan dari film horrornya adalah ternyata penonton film Terminator selain rombongan kami adalah 15 orang saja, bagi saya itulah horror yang sebenarnya. karena kita bicara pasar dan harga sebuah copy film yang tidak murah, untuk selembar tiket seharga Rp 7500 dan jam putar dengan jumlah penonton ramai hanya pada pukul 19.00 saja hal itu akan sangat sulit untuk kemudian membayangkan kedepannya bioskop ini akan semakin maju dan menyajikan film lebih up to date dan bahkan update atau impian yang lebih gila akan adanya pengusaha yang akan membuka jaringan 21 Jember, karena melihat fakta film Terminator ini saja hal tersebut sudah barang tentu sangat mustahil untuk terwujud.

Menyoal pasokan film, saya langsung teringat film Janji Joni yang meski dibuat kocak namun mengandung informasi yang kaya akan sistem perbioskopan negeri ini. saya masih belum mengetahui apakah skema dalam film janji Joni tentang bisokop tersebut bener-bener dipraktekkan dalam dunia nyata atau hanya buaian film semata, namun yang jelas penggambaran suasana dibioskop hingga sepeuluh macam ciri-ciri penonton bioskopnya hampir pernah kita rasakan. mungkin bisa jadi dahulu sistem perbioskopan terutama pembagian jam putar hingga distribusi copyan filmnya nyata, dan hal itu sangat unik ketika kita mengetahui dalam dua bisokop terdapat satu copy film yang diputar berurutan.

Kembali ke bioskop Jember, untuk mengatasi sempitnya masalah tersebut dan mengingat juga bahwa bioskop merupakan ruang publik, kemudian pemerintah adalah salah satu penyelamat yang dinilai ampuh untuk menyelesaikannya. karena disaat Jember membutuhkan sebuah resolusi terhadap bioskop reguler dan komersial, disaat yang bersamaan namun ditempat yang berbeda yang sudah memiliki bioskop dan menjadikan bioskop sebagai tempat rekreasi telah merubah dan berevolusi jauh meninggalkan Jember. mereka sudah memulainya dengan membuat bioskop sebagai art house, dimana tempat tersebut menjadi lokasi bertumbuhnya idealis tentang seni yang independen sebagai alternatif bagi penikmat seni sekaligus sebagai pertukaran budaya lewat seni audio-visual. dan hal ini sangat bagus sebagai edukasi terhadap masyarakat untuk memasyarakatkan film, namun bukan berarti hal itu murni dikuasai pemerintah karena sperti yang kita tau bahwa bahkan kebijakan pemerintah tentang perfilman sendiri terlalu memojokkan para pelaku film dan bahkan pemilik bioskop itu sendiri.

Demikian adanya karena untuk membuat bisokop saja investasinya sangat besar, bisa 1 hingga 5 miliar rupiah untuk satu gedung dengan 3-5 studio itu pun para pengusaha bioskop harus berada didalam Mall dan Mall tersebut minimal tidak bangkrut alias mememilik potensi yang baik karena usaha bioskop itu balik modalnya cukup lama. kalau membuat bioskop diluar mall spertinya tambah susah, susah disini adalah masih ada penambhan lain-lain seperti membeli tanah dan lain sebagainya. tantangan jika membuat bioskop luar mall adalah potenasi penonton juga, bila didalam mall ada pengunjung mall yang mungkin untuk makan, belanja, atau sekedar kongkow-kongkow bareng teman dan kolega, lalu bila ada lebih uang dan waktu ya nonton. bedanya dengan diluar mall adalah bioskop memang benar-benar membutuhkan orang yang hanya ingin nonton bukan kebetulan ingin nonton, dan bagi saya penonton itu menjadi dua bagian ya, ada penonton yang ingin nonton karena dia sejak dari rumah atau kantor sudah tau apa yang ingiin ditonton mungkin dengan alasan genre, aktor, sutradara kesukaan dan penonton yang kebetulan datang kebioskop dan ketika dibioskop lah mereka baru memutuskan untuk nonton apa saja yang diputer hari itu.

Kekacauan tambah merumit ketika film dan bioskop dijadikan sebagai produk wisata dngan tarif industri, hal ini makin memberatkan pihak bioskop. mungkin untuk 21 dan Blitz itu sih oke saja, tapi bagaimana dengan bioskop kecil didaerah? semisal bioskop kusuma Jember? kemudian faktor ini pulalah sektor bisnis bioskop kerap terbunuh dan itu bukan lagi hanya dari faktor DVD bajakan yang banyak didengungkan. biaya operasional yang tinggi, pasokan film yang terbatas, dan tingkat minat penonton yang kecil memang sudah merupakan bagian dari kejamnya sebuah bisnis. namun apakah hal ini kemudian dijadikan alasan sebagai ketidak pedulia terhadap film dan bioskop? bila ini sebuah persaingan, perang yang dikumandangkan sungguh tidak lah fair karena bioskop merupakan pasar yang berbeda.

Untuk bioskop Jember setidaknya pemerintah harus mengupayakan terjalinnya kerja sama yang membangun namun juga bukan berarti harus memegang kontrol penuh, setidaknya proses untuk membangkitkan usaha ini menjadi lebih maju adalah dengan kemudahan dan distribusi pasokan film. selain itu juga perlunya menamkan proses membudayakan kembali ke bioskop untuk msayarakat dari pemerintah, saya kira pemerintah mampu untuk melakukan hal itu mengingat BBJ saja sudah sampai mendunia hingga sempat menggemparkan indonesia karena JFC tampil khusus di kerajaan Inggris tempo hari. permasalahan tersebut saya yakin akan mudah teratasi dengan baik, dan pada akhirnya bioskop kusuma bukan hanya menjadi gedung bersejarah yang akan hilang ditelan waktu tanpa ada yang merawatnya. dengan cara mendorong pemuda-pemudi untuk terus mendatanginya selain untuk mengunjungi benda bersejarah namun juga terhibur dengan sajian seni bernama film, karena ketegangan, takut, bahagia, menangis ketika nonton sebuah film bersama teman, klien, keluarga, dan pasangan merupakan hal yang sangat sayang untuk dilewatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog ni gak seru kalo gak ada komentar anda